Ada gegap gempita yang muncul ke permukaan ketika seorang remaja laki-laki yang belum genap berumur 16 tahun mulai mencoba-coba untuk merasakan sebuah hegemoni gelaran
gig lokal. Saat itu, dia baru saja mencicipi masa SMA yang baginya tak begitu istimewa. Kehidupannya di SMA selayak anak-anak seusianya. Namun, ketika banyak temannya beramai-ramai pergi ke game center selepas pulang sekolah, dia lebih memilih untuk mencegat bus kota di depan sekolah. Pulang ke rumah secepat mungkin seolah menjadi tujuannya kala itu agar dapat mendengarkan koleksi lagu-lagu favorit yang kebanyakan berhaluan punk rock hasil dari mengunduh bebas dari internet dan beberapa kaset pinjaman. Ada juga band-band lokal yang masuk ke dalam daftar koleksinya.
Suatu kali, ada sebuah pamflet acara musik yang menempel pada papan majalah dinding di sekolahnya. Pamflet itu pula yang kemudian membawanya ke ranah yang dia imani hingga sekarang. Ketika itu tahun 2006, ketika euforia
gig di Kota Semarang terasa masih begitu menyenangkan, tak seperti sekarang. Dari beberapa band yang ada pada waktu itu, salah satu di antaranya cukup mencuri perhatian remaja yang saya gambarkan di atas. Ya, mereka adalah
Something About Lola. Meskipun perhatiannya tercuri, bukan serta merta dia mengidolakan Something About Lola seperti halnya ketika teman-temannya mengelu-elukan band tersebut. Tetapi seolah ada suatu garis yang menakdirkan Something About Lola sebagai band Semarang yang corak musiknya tidak ‘berbau’ Semarang. Hal itulah yang menjadikan remaja tersebut tetap menyukai Something About Lola ketika teman-temannya mulai membohongi selera mereka masing-masing berdasarkan opini-opini yang tak jelas pangkalnya. Kalau dianalogikan, seperti halnya sesuatu yang pernah menimpa Pee Wee Gaskins, banyak remaja yang awalnya menyukai mereka beralih menjadi musuh yang tak habis-habisnya mencaci maki. Kadang, perputaran dunia memang dikedalikan oleh opini dan anomali selera.
Something About Lola: Transisi Masa, Nama, dan Nada
Tidak terasa, 9 tahun sudah berlalu. Remaja biasa yang dulu masih sebatas siswa SMA kini sudah menjadi seorang mahasiswa yang berjuang mendapatkan titel sarjana, namun tetap sebagai orang biasa saja, yang menjadi orang sok pintar yang menulis ulasan ini. Selama itu, Something About Lola juga semakin jarang melakukan hilir mudik pada panggung gigs di Semarang, pasar menunjukkan perannya. Saya merindukan euforia yang mereka sajikan. Saya tak tahu, apakah teman-teman saya dulu mau mengakui jika mereka sempat mengidolakan Something About Lola atau sudah menguburnya dalam-dalam atas nama parameter usia? Saya juga tak tahu, apakah anak-anak SMP dan SMA jaman sekarang mengetahui apa dan siapa Something About Lola?
Pertengahan Januari 2015 lalu, Something About Lola baru saja merilis album bertajuk Your Revolution yang beramunisikan 10 track, 4 di antaranya adalah lagu lama yang didaur ulang. Album tersebut merupakan rilisian fisik ke-3 setelah sebelumnya sudah ada 2 album mini, yaitu Men Love Avenue (2007) dan Red Town (2008). Your Revolution menyajikan sesuatu yang berbeda. Something About Lola lebih berani untuk melakukan eksplorasi terhadap pakem yang sudah mereka usung sejak awal. Tetapi, mereka tetaplah Something About Lola yang penuh energi.
Ibarat gapura yang menyambut kita kala sedang menuju ke kota tujuan, Preambule bisa menjadi tanda yang menunjukkan identitas Something About Lola. Lagu tanpa lirik tersebut menjadi pembuka album, sesuai judulnya. Output gitar yang minim distorsi dan mengandalkan karakter kayu bercampur dengan bass yang menonjol pula hentakan drum yang menjadi ciri khas mereka akan mengantarkan kita ke White Stallion dan cerita-cerita selanjutnya. White Stallion berada pada baris kedua. Judulnya diambil dari warna kuda yang ditunggangi Pangeran Diponegoro. Kuintet tersebut menjadikan White Stallion sebagai metafora terhadap aktivitas mereka sehari-hari, pada satu sisi sebagai kelas pekerja yang berorientasi pada urusan perut dan pada sisi lain sebagai Something About Lola secara utuh ketika akhir pekan mulai tiba. Firman Ferdian seolah mengucapkan “Avada kedavra” dalam hati dan langsung mencibir mikrofon habis-habisan bersamaan dengan permainan instrumen lain. Pesta sudah dimulai. Namun saya rasa, masih ada kaitan antara Preambule dengan track kedua ini. Do you feel the same?
Mungkin patut disayangkan ketika dalam album penuh suatu band terdapat lagu lama yang sudah begitu akrab di telinga kita. Namun, dengan segala pro dan kontranya, hal tersebut merupakan sebuah otonomi yang dimiliki suatu band. Tugas kita hanyalah mengapresiasi karya-karya mereka. Dalam album ini, Something About Lola turut memasukkan 2 lagu lama yaitu Majesty’s Secret Service (Men Love Avenue, 2007) dan Istanbul to Athens (Red Town, 2008). Selain itu, ada pula Pandora’s Eyes dan 9 Detik Dari Sekarang yang sebenarnya merupakan proyeksi awal proses produksi album ini. Namun, karena beberapa hal, proses pembuatan album mengalami penundaan yang cukup lama. Publik menganggap bahwa Pandora’s Eyes dan 9 Detik Dari Sekarang adalah 2 lagu yang berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan Your Revolution.
Entah kenapa, seperti ada yang kurang jika mendengarkan
Majesty’s Secret Service dalam album ini. Saya lebih suka versi kedua lagu tersebut, yang terdapat dalam album mini
Men Love Avenue. Kalau dibandingkan, kedua versi lagu tersebut memang hampir sama. Hanya saja, lagu versi baru seperti disajikan dengan
tune yang lebih rendah. Sedangkan untuk
Istanbul to Athens, pergantian pada posisi
drummer memberi pengaruh dalam perombakan lagu tersebut. Anto yang juga merupakan
drummer sindikat
metalcore Sunday Sad Story mulai memberi warna lain pada musik Something About Lola dengan ketukan yang lebih padat dan bertenaga. Seketika, saya langsung mengingat Maroon 5 saat masuk ke
Pandora’s Eyes dan
Blackbolt. Something About Lola seperti mengadopsi nada-nadanya, namun juga dipadu dengan pakem mereka sendiri. Bedanya, jika
Pandora’s Eyes diawali dengan bunyian balada-balada kerajaan, sedangkan
Blackbolt bernuansa
rock n roll. Dengan balutan sepatu dan jaket kulit, celana jins yang robek serta rambut klimis sangat cocok untuk menikmati
Blackbolt.
Mari beralih ke lagu lain. Tower of Light dengan gagah mengisi urutan nomor 9 dalam album. Anto memiliki peran ketika lagu ini masuk ke bridge menjelang tangah-tengah lagu. Ada makna mulia yang tersirat dalam lagu ini. Manusia yang diliputi oleh berbagai macam kesalahan pada masa lalu hendaknya selalu belajar, karena memang itu tugas manusia. Saya memang sengaja mengulas lagu-lagu dalam album ini secara acak, karena ada 2 lagu yang menjadi favorit saya. Keduanya adalah L.T. dan 31. Sungguh beruntung Something About Lola memiliki vokalis dengan karakter yang kuat. Kekuatan lirik dan cara menyanyikannya juga tersaji dalam L.T. –yang merupakan inisial dari Leo Tolstoy. Jika kalian adalah anak muda yang ambisius dengan segala macam mimpi yang masih jauh dari genggaman, cobalah menyatu dengan lagu tersebut. Akhirnya sampai juga ke 31, lagu yang merupakan implisit dari bermacam-macam perasaan para personil Something About Lola dalam satu rumah yang sempat mereka huni bersama-sama, lebih dari sekadar rumah. Dari segi musik, 31 adalah yang paling unik di antara yang lain, seperti mengajak kita untuk turun ke lantai dansa yang sudah dipenuhi oleh kawan-kawan lama sambil menceritakan kisah hidup masing-masing setelah sekian lama berpisah. Perlu perasaan yang sensitif untuk menikmati musik dan lirik lagu tersebut. Ah!
Namun, ada kabar buruk dengan dirilisnya
Your Revolution. Album tersebut juga merupakan pertanda bahwa Something About Lola sudah mati. Something About Lola hanyalah nama yang pernah mengisi masa remaja yang begitu bergairah yang kini tersisa dalam catatan-catatan masa lalu kalian. Akan tetapi, hal itu hanya sebatas pergantian nama menjadi "S.A.L" -sesuatu yang memang tak asing karena kebanyakan lebih sering menyebutkan nama itu dibanding "Something About Lola" sendiri. Kini, S.A.L akan mengobati kerinduan tersebut. Kuintet Firman Ferdian (vokal), Rossy Kuntjoro (gitar), Hendragita (gitar), Singgih Bayu (bass), dan Anto (drum) telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang baru dengan cara mereka sendiri. Semoga evolusi mereka yang cukup lama tidak dikutuk oleh mantra yang berbunyi
“Bubar setelah rilis album...”.
[GALJIPVT]