Friday, April 15, 2016

Figura Renata Rilis Debut Single dan Video Klip Bertajuk “Elegi”

Nama Figura Renata memang masih asing bagi publik. Pasalnya, duo asal Semarang yang memilih langgam pop/folk sebagai corak musik yang disajikan tersebut baru terbentuk pada Oktober 2015. Sebagai perkenalan sekaligus pemanasan menuju album penuh, duo yang dipilari oleh Deviasita Putri (vokal) dan Bima Sinatrya (gitar/vokal) resmi merilis single bertajuk “Elegi” pada 19 Maret 2016 lalu. Figura Renata tampak berani memberi nuansa baru bagi scene Semarang.
Dalam single tersebut, Figura Renata menyampaikan kegelisahan mereka mengenai kurangnya intensitas komunikasi dan bertatap muka secara langsung sebagai dampak perkembangan teknologi. “Lagu ini menceritakan bagaimana anak muda hari ini yang seolah-olah lupa dengan dunia nyata dan memilih untuk terjebak di kehidupan dunia maya. Padahal, berinteraksi secara langsung dengan orang lai adalah cara untuk bertahan hidup dan mencari tujuan hidup,” ujar Devia.
“Elegi” sudah dapat didengarkan dalam format digital. Selain itu, Figura Renata juga tidak ingin terkesan main-main perihal kemunculannya dengan merilis video klip untuk judul lagu yang sama. “Single tersebut merupakan salah satu lagu yang nantinya juga terdapat pada album penuh yang akan kami rilis pada pertengahan tahun ini. Hingga saat ini, penggarapan album masih dalam proses pematangan materi. Namun, kami sudah berancang-ancang dengan mempersiapkan tema, konsep, dan artwork untuk album tersebut,” tutur Bima. [Galang Aji Putro]



Source: WARN!NG MAGAZINE

Tuesday, March 24, 2015

"Mengikis Paranoia", Amunisi The Corals Dalam Album "Delemur"

The Corals/Bandcamp

Bisa dibilang bahwa Stoner Rock menjadi langgam yang mulai menancapkan akarnya kuat-kuat di Indonesia. Kali ini ada The Corals (Bekasi) yang merupakan kongsi milik trio Mbeng Danza (vokal), Ferry (gitar), dan Rizky (bass). Pada Februari lalu, mereka telah merilis album penuh bertajuk Delemur (Pavilliun Records/2015) yang beramunisikan 9 track. Dapat dikatakan bahwa album tersebut merupakan hasil dari proyek ambisius karena terjadinya pergantian personil setelah perilisan album mini Terbelenggu Depresi pada 2010 silam. Dalam proses produksinya, The Corals lebih memilih untuk menggunakan jasa additional drummer. Mengikis Paranoia merupakan nomor yang sengaja mereka jadikan 'tumbal' dalam album Delemur karena dapat didengarkan secara cuma-cuma. Rock hari iniif you know what I mean, sepertinya mulai berani bermain-main dengan tempo yang tidak menjadi stereotipnya, namun juga dibarengi output suara yang padat dan tebal. Penggambaran seperti itulah yang kiranya dapat ditemukan dalam Mengikis Paranoia. Kalau boleh saya mengatakan, komposisi antara Corrosion Of Conformity, Down, dan Komunal cukup kental dalam lagu tersebut. [GALJIPVT]


Friday, January 23, 2015

Evolusi a la S.A.L Dalam Album Bertajuk "Your Revolution"

Ada gegap gempita yang muncul ke permukaan ketika seorang remaja laki-laki yang belum genap berumur 16 tahun mulai mencoba-coba untuk merasakan sebuah hegemoni gelaran gig lokal. Saat itu, dia baru saja mencicipi masa SMA yang baginya tak begitu istimewa. Kehidupannya di SMA selayak anak-anak seusianya. Namun, ketika banyak temannya beramai-ramai pergi ke game center selepas pulang sekolah, dia lebih memilih untuk mencegat bus kota di depan sekolah. Pulang ke rumah secepat mungkin seolah menjadi tujuannya kala itu agar dapat mendengarkan koleksi lagu-lagu favorit yang kebanyakan berhaluan punk rock hasil dari mengunduh bebas dari internet dan beberapa kaset pinjaman. Ada juga band-band lokal yang masuk ke dalam daftar koleksinya.
Suatu kali, ada sebuah pamflet acara musik yang menempel pada papan majalah dinding di sekolahnya. Pamflet itu pula yang kemudian membawanya ke ranah yang dia imani hingga sekarang. Ketika itu tahun 2006, ketika euforia gig di Kota Semarang terasa masih begitu menyenangkan, tak seperti sekarang. Dari beberapa band yang ada pada waktu itu, salah satu di antaranya cukup mencuri perhatian remaja yang saya gambarkan di atas. Ya, mereka adalah Something About Lola. Meskipun perhatiannya tercuri, bukan serta merta dia mengidolakan Something About Lola seperti halnya ketika teman-temannya mengelu-elukan band tersebut. Tetapi seolah ada suatu garis yang menakdirkan Something About Lola sebagai band Semarang yang corak musiknya tidak ‘berbau’ Semarang. Hal itulah yang menjadikan remaja tersebut tetap menyukai Something About Lola ketika teman-temannya mulai membohongi selera mereka masing-masing berdasarkan opini-opini yang tak jelas pangkalnya. Kalau dianalogikan, seperti halnya sesuatu yang pernah menimpa Pee Wee Gaskins,  banyak remaja yang awalnya menyukai mereka beralih menjadi musuh yang tak habis-habisnya mencaci maki. Kadang, perputaran dunia memang dikedalikan oleh opini dan anomali selera.

Something About Lola: Transisi Masa, Nama, dan Nada
Tidak terasa, 9 tahun sudah berlalu. Remaja biasa yang dulu masih sebatas siswa SMA kini sudah menjadi seorang mahasiswa yang berjuang mendapatkan titel sarjana, namun tetap sebagai orang biasa saja, yang menjadi orang sok pintar yang menulis ulasan ini. Selama itu, Something About Lola juga semakin jarang melakukan hilir mudik pada panggung gigs di Semarang, pasar menunjukkan perannya. Saya merindukan euforia yang mereka sajikan. Saya tak tahu, apakah teman-teman saya dulu mau mengakui jika mereka sempat mengidolakan Something About Lola atau sudah menguburnya dalam-dalam atas nama parameter usia? Saya juga tak tahu, apakah anak-anak SMP dan SMA jaman sekarang mengetahui apa dan siapa Something About Lola?
Pertengahan Januari 2015 lalu, Something About Lola baru saja merilis album bertajuk Your Revolution yang beramunisikan 10 track, 4 di antaranya adalah lagu lama yang didaur ulang. Album tersebut merupakan rilisian fisik ke-3 setelah sebelumnya sudah ada 2 album mini, yaitu Men Love Avenue (2007) dan Red Town (2008). Your Revolution menyajikan sesuatu yang berbeda. Something About Lola lebih berani untuk melakukan eksplorasi terhadap pakem yang sudah mereka usung sejak awal. Tetapi, mereka tetaplah Something About Lola yang penuh energi.
Ibarat gapura yang menyambut kita kala sedang menuju ke kota tujuan, Preambule bisa menjadi tanda yang menunjukkan identitas Something About Lola. Lagu tanpa lirik tersebut menjadi pembuka album, sesuai judulnya. Output gitar yang minim distorsi dan mengandalkan karakter kayu bercampur dengan bass yang menonjol pula hentakan drum yang menjadi ciri khas mereka akan mengantarkan kita ke White Stallion dan cerita-cerita selanjutnya. White Stallion berada pada baris kedua. Judulnya diambil dari warna kuda yang ditunggangi Pangeran Diponegoro. Kuintet tersebut menjadikan White Stallion sebagai metafora terhadap aktivitas mereka sehari-hari, pada satu sisi sebagai kelas pekerja yang berorientasi pada urusan perut dan pada sisi lain sebagai Something About Lola secara utuh ketika akhir pekan mulai tiba. Firman Ferdian seolah mengucapkan “Avada kedavra” dalam hati dan langsung mencibir mikrofon habis-habisan bersamaan dengan permainan instrumen lain. Pesta sudah dimulai. Namun saya rasa, masih ada kaitan antara Preambule dengan track kedua ini. Do you feel the same?
Mungkin patut disayangkan ketika dalam album penuh suatu band terdapat lagu lama yang sudah begitu akrab di telinga kita. Namun, dengan segala pro dan kontranya, hal tersebut merupakan sebuah otonomi yang dimiliki suatu band. Tugas kita hanyalah mengapresiasi karya-karya mereka. Dalam album ini, Something About Lola turut memasukkan 2 lagu lama yaitu Majesty’s Secret Service (Men Love Avenue, 2007) dan Istanbul to Athens (Red Town, 2008). Selain itu, ada pula Pandora’s Eyes dan 9 Detik Dari Sekarang yang sebenarnya merupakan proyeksi awal proses produksi album ini. Namun, karena beberapa hal, proses pembuatan album mengalami penundaan yang cukup lama. Publik menganggap bahwa Pandora’s Eyes dan 9 Detik Dari Sekarang adalah 2 lagu yang berdiri sendiri, tidak berhubungan dengan Your Revolution.
Entah kenapa, seperti ada yang kurang jika mendengarkan Majesty’s Secret Service dalam album ini. Saya lebih suka versi kedua lagu tersebut, yang terdapat dalam album mini Men Love Avenue. Kalau dibandingkan, kedua versi lagu tersebut memang hampir sama. Hanya saja, lagu versi baru seperti disajikan dengan tune yang lebih rendah. Sedangkan untuk Istanbul to Athens, pergantian pada posisi drummer memberi pengaruh dalam perombakan lagu tersebut. Anto yang juga merupakan drummer sindikat metalcore Sunday Sad Story mulai memberi warna lain pada musik Something About Lola dengan ketukan yang lebih padat dan bertenaga. Seketika, saya langsung mengingat Maroon 5 saat masuk ke Pandora’s Eyes dan Blackbolt. Something About Lola seperti mengadopsi nada-nadanya, namun juga dipadu dengan pakem mereka sendiri. Bedanya, jika Pandora’s Eyes diawali dengan bunyian balada-balada kerajaan, sedangkan Blackbolt bernuansa rock n roll. Dengan balutan sepatu dan jaket kulit, celana jins yang robek serta rambut klimis sangat cocok untuk menikmati Blackbolt.
Mari beralih ke lagu lain. Tower of Light dengan gagah mengisi urutan nomor 9 dalam album. Anto memiliki peran ketika lagu ini masuk ke bridge menjelang tangah-tengah lagu. Ada makna mulia yang tersirat dalam lagu ini. Manusia yang diliputi oleh berbagai macam kesalahan pada masa lalu hendaknya selalu belajar, karena memang itu tugas manusia. Saya memang sengaja mengulas lagu-lagu dalam album ini secara acak, karena ada 2 lagu yang menjadi favorit saya. Keduanya adalah L.T. dan 31. Sungguh beruntung Something About Lola memiliki vokalis dengan karakter yang kuat. Kekuatan lirik dan cara menyanyikannya juga tersaji dalam L.T. –yang merupakan inisial dari Leo Tolstoy. Jika kalian adalah anak muda yang ambisius dengan segala macam mimpi yang masih jauh dari genggaman, cobalah menyatu dengan lagu tersebut. Akhirnya sampai juga ke 31, lagu yang merupakan implisit dari bermacam-macam perasaan para personil Something About Lola dalam satu rumah yang sempat mereka huni bersama-sama, lebih dari sekadar rumah. Dari segi musik, 31 adalah yang paling unik di antara yang lain, seperti mengajak kita untuk turun ke lantai dansa yang sudah dipenuhi oleh kawan-kawan lama sambil menceritakan kisah hidup masing-masing setelah sekian lama berpisah. Perlu perasaan yang sensitif untuk menikmati musik dan lirik lagu tersebut. Ah!
Namun, ada kabar buruk dengan dirilisnya Your Revolution. Album tersebut juga merupakan pertanda bahwa Something About Lola sudah mati. Something About Lola hanyalah nama yang pernah mengisi masa remaja yang begitu bergairah yang kini tersisa dalam catatan-catatan masa lalu kalian. Akan tetapi, hal itu hanya sebatas pergantian nama menjadi "S.A.L" -sesuatu yang memang tak asing karena kebanyakan lebih sering menyebutkan nama itu dibanding "Something About Lola" sendiri. Kini, S.A.L akan mengobati kerinduan tersebut. Kuintet Firman Ferdian (vokal), Rossy Kuntjoro (gitar), Hendragita (gitar), Singgih Bayu (bass), dan Anto (drum) telah bermetamorfosis menjadi sesuatu yang baru dengan cara mereka sendiri. Semoga evolusi mereka yang cukup lama tidak dikutuk oleh mantra yang berbunyi “Bubar setelah rilis album...”. [GALJIPVT]

Friday, July 18, 2014

OK Karaoke – Sinusoid: DeLorean Menuju Era 1990-an

Kadang, manusia begitu mahir dalam mengingat hal-hal yang tidak direncanakan untuk diingat. Tak munafik, bahkan kita sering lupa terhadap sesuatu yang harusnya diingat. Entah disengaja atau tidak, kita memerlukan media lain untuk kembali ke masa lalu, mengenang segala macam hiruk pikuk yang terekam dalam simpul-simpul Ensephalon yang rumit. Lagu memiliki tendensi yang kuat untuk menjadi suatu media pengingat. Lagu seolah menjadi mesin waktu yang memiliki panel-panel untuk mengunjungi masa lalu.
Kali ini, OK Karaoke dengan rilisan yang mereka beri judul Sinusoid (Vitus Records / 2014) mencoba peruntungan untuk mengajak bertamasya menuju era gemilang generasi 90-an. Sinusoid merupakan album kedua dari unit Pop/Indie Rock asal Semarang, setelah pada 2008 lalu terlebih dulu merilis album mini Sail Off The Storm. Secara pribadi, Saya menyebut OK Karaoke sebagai harta karun dari era 1990-an. Ya, alasannya adalah bunyi-bunyi yang mereka hasilkan melalui lagu-lagu seperti pernah Saya dengar, bahkan ada yang akrab di telinga.
Sebelum mendapati album tersebut, Saya coba mengartikan maksud dari “sinusoid” itu sendiri. Sejauh yang Saya tahu, sinusoid merupakan gelombang suara paling jernih yang dapat ditangkap oleh telinga manusia. Meskipun terdapat ambiguasi mengenai arti dan makna, Saya rasa deskripsi pribadi Saya mengenai album tersebut lebih berdasar pada corak musik yang dimainkan oleh OK Karaoke yang memang halus dan jernih. Namun, setelah rilisan tersebut ada di tangan, deskripsi Saya kemudian bergeser. Tampak pada artwork yang diciptakan oleh Garna Raditya (gitaris OK Karaoke), warna merah semacam bercak darah menggiring persepsi Saya menuju sinusoid yang dalam hal ini merupakan bagian dari sistem peredaran darah di dalam jaringan hati.
OK Karaoke menjadikan 9 lagunya sebagai amunisi yang terdapat di dalam album Sinusoid. Dari 9 lagu tersebut, terdapat 3 lagu yang sebelumnya sudah lebih dulu mengudara. Call Me Time dan Casteless Man merupakan single yang mereka rilis setelah album mini Sail Off The Storm yang sekaligus sebagai media pengenalan bagi Febrian Aditya Putra (Dito) sebagai vokalis baru mereka beberapa tahun lalu. Sedangkan Departed merupakan salah satu lagu yang terdapat dalam album kompilasi Atlas City Movement (Al Javier Records / 2012). Adapun 6 lagu lain yaitu Late Comer Boy, Sinusoid, Sangre Azul, Kenanglah Angan, Lekas Sembuh, dan Fetus.
Dari 9 lagu, ada beberapa lagu yang menjadi rujukan bagi Saya untuk menyebut album ini sebagai DeLorean menuju era 1990-an, terlebih adalah Late Comer Boy dan Kenanglah Angan. Ketika mendengarkan 2 lagu tersebut, rasa-rasanya seperti kembali pada masa kejayaan Pure Saturday. Bukan bermaksud untuk menyamakan, namun akar rumput yang dibawa Pure Saturday seolah melekat pada OK Karaoke. Kemudian, di penghujung album ada Fetus. Ah! Lagu ini seolah mempermainkan tempo berjalannya waktu. Track terakhir tersebut begitu dekat dengan langgam Post-Rock yang kental permainan efek modulasi yang menghanyutkan.
Semoga kita bertemu pada masa lalu, pada era 1990-an yang riang dan juga sendu. [GALJIPVT]

Friday, April 25, 2014

The Taqwacores, Sekilas Gambaran Punk Muslim di Khalifornia



Beberapa hari lalu, seorang teman memberi saran kepada Saya untuk segera menonton film yang kebetulan baru saja ia tonton. Semacam rantai euforia yang berputar, ia rekomendasikan film tersebut kepada yang lainnya juga. Film itu berjudul The Taqwacores –film rilisan tahun 2010 karya Eyad Zahra yang diadaptasi dari sebuah novel berjudul sama, karya Michael Muhammad Knight. Film tersebut tidak mengambil banyak tempat sebagai latar dalam adegan-adegannya. Kebanyakan adegan diambil di dalam sebuah rumah di Buffalo, California (kemudian mereka sebut “Khalifornia”) dengan beberapa kamar lusuh yang dihuni pemuda-pemuda Muslim yang juga menganut ideologi Punk –entah patut disebut sebagai ideologi atau bukan, pada kenyataannya Punk memanglah bukan sekadar gaya hidup, namun juga menjadi pola pikir dan landasan hidup bagi sebagian orang. Meskipun begitu, mereka tetap menerapkan ajaran-ajaran Islam ke dalam kehidupannya, meskipun kadang agak melenceng seperti halnya pemuda Muslim di sekitar kita. Rumah itu pula yang menyatukan Punk Muslim di daerah tersebut untuk dapat berkumpul pada siang hari untuk beribadah, dan berpesta pada malam harinya.
Sebut saja Yusef sebagai tokoh utama dalam The Taqwacores. Yusef datang dari Pakistan untuk melanjutkan kuliah di Amerika Serikat. Dia adalah sosok yang lurus, baik hati, dan cenderung ‘bersih’. Jadi, dapat dikatakan bahwa Yusef adalah satu-satunya penghuni rumah yang bukan berasal dari kalangan Punk itu sendiri. Dia pun heran ketika melihat kondisi rumah yang berantakan tersebut, telebih ketika mengetahui ada bendera Arab Saudi dengan coretan lambang anarki di tengahnya. Kemudian ada Umar, sosok bertubuh kekar yang juga penganut paham straight edge, lengkap dengan lambang “X” di sisi permukaan luar tangannya. Umar adalah Muslim yang paling konservatif dan berusaha menerapkan segala hal yang tertulis di dalam Al Qur’an ke dalam kehidupannya. Umar juga merupakan penghuni rumah yang kerap bertengkar dengan penghuni lainnya karena menilai mereka tak layak disebut sebagai seorang Muslim. Selain Yusef dan Umar, ada pula perempuan bercadar yang bernama Rabeya. Rabeya adalah sosok Punk perempuan bercadar yang gemar membaca buku. Uniknya, dia mencoret beberapa bagian di dalam Al Qur’an karena menurutnya bagian-bagian tersebut tak cocok jika diterapkan ke dalam kesehariannya.
Pada awal-awal film, kita juga akan dibuat geli oleh sosok Jehangir dan Fasiq. Keduanya adalah penghuni rumah yang secara tampilan memang menggambarkan gaya anak-anak Punk. Fasiq gemar menghisap ganja. Ia memiliki alasan dalam melakukan kegemarannya itu. Menurutnya, segala yang diciptakan oleh Allah adalah karunia bagi manusia, begitu pula ganja. Itu pula yang dijadikan Fasiq sebagai materi dalam khotbah Jumat di rumah tersebut. Selain dengan Umar, Yusef juga dekat dengan Jehangir. Jehangir adalah sosok kurus berambut mohawk yang dicat merah, yang sempat mengagetkan Yusef pada suatu Subuh. Pada saat itu Jehangir menciptakan nada adzan dengan gitarnya, hal itu membuat Yusef heran. Jehangir menilai bahwa Islam bukanlah hal yang didasari oleh Al Qur’an dan Al Hadist. Menurutnya, Islam adalah tentang bagaimana kita menjadi diri kita sendiri di mata Allah. Dia dan Fasiq sering mengajak Yusef untuk merekam aksi mereka saat bermain skateboard. Selain mereka, ada juga Lynn. Lynn buakanlah penghuni rumah, namun sering berkunjung. Ia adalah seorang yang memeluk Islam dan Katolik sekaligus. Lynn jugalah yang membuat Yusef ingin merasakan kenikmatan hubungan badan, meskipun awalnya Yusef menolak. Ada juga Fatima, yang meneliti kehidupan Muslim transgender di Amerika dan mengajak temannya yang bernama Muzammil. Muzammil adalah seorang gay. Hal itu semakin membuka mata Yusef, bahwa permasalahan gender sebenarnya patut mendapat tempat di suatu lingkup sosial.
Pada suatu ketika, Jehangir berniat mengundang teman-teman Punk-nya dalam sebuah gig yang akan diselenggarakan di rumah itu. Ia menyebutnya sebagai Taqwacores, yaitu komunal Punk Muslim di Amerika Serikat. Ada 1 band yang sempat tidak disetujui teman-temannya, yaitu Bilal’s Boulder. Alasannya, Bilal’s Boulder tidak menerima kehadiran perempuan dalam setiap aksi panggung mereka. Itulah yang menjadi faktor Jehangir untuk tetap mengundang mereka. Jehangir berpendapat bahwa jika dia tidak bisa menerima suatu kelompok karena memiliki perilaku dan interpretasi yang buruk, maka dia juga tidak berbeda jauh dengan mereka. Saat berlangsungnya gig, ketakutan itu muncul saat Bilal’s Boulder naik ke panggung. Terjadi kericuhan dalam adegan tersebut, selayak pesta-pesta Punk/Hardcore pada umumnya. Jehangir terkapar dilantai karena kebrutalan salah satu personil Bilal’s Boulder, dan Yusef juga ikut kena imbasnya.
Adegan gig tersebut adalah jembatan menuju akhir film The Taqwacores. Sayang sekali, akhir film terkesan menggantung dan tidak jelas. Terlihat bahwa Yusef seolah merasa kecewa dengan ‘perjalanan spiritual” yang diliputi ulah teman-temannya. Secara garis besar, The Taqwacores menceritakan tentang gambaran kehidupan skena Punk di Amerika Serikat dalam gejolak antara Islam moderat dan Islam konservatif. [GALJIPVT]

Sunday, November 24, 2013

"Hujan Kemarau", Satir Yang Dibalut Nuansa Anggun


Kemunculan Oldyoung dalam ranah musik di Kota Semarang telah mencuri perhatian Saya. Suatu kali, saat Saya menyaksikan aksi panggung mereka secara langsung, hal itu membuat Saya tercengang dan jatuh cinta terhadap unit Retrofolk tersebut. Sebut saja Hujan Kemarau –salah  satu lagu yang akan terdapat pula dalam album mereka. Lagu tersebut mengalun begitu tenang sekaligus menyimpan sebuah cerita seperti halnya detak jam dinding yang menyeruak dalam ruangan kosong. Dalam Hujan Kemarau, Oldyoung sedang tidak menjadi peramal cuaca atau apapun penyebutannya. Oldyoung begitu tanggap terhadap hal-hal sederhana semacam keinginan manusia yang tak pernah ada habisnya, dan itulah interpretasi yang terkandung dalam Hujan Kemarau. Tentunya kita sering menjumpai orang-orang (bahkan kita sendiri) mengeluh ketika hujan, pun juga ketika matahari begitu menyengat. Afiliasi antara musik dan vokal begitu harmonis, ditambah pula bagian tengah lagu yang mengalami klimaks. Oldyoung seolah sedang menyajikan satir berupa sebuah pentas teatrikal yang megah dan anggun.

Tuesday, July 30, 2013

Zine: Media Perlawanan Yang Mulai Akrab Dengan Dinding Pameran

Cogito ergo sum. Ungkapan Rene Descartes yang didasari oleh keraguan terhadap hal-hal di sekelilingnya tersebut kemudian menjadi semacam pegangan orang-orang untuk membuktikan eksistensinya. Menurut beberapa referensi yang saya baca, Descartes ragu-ragu akan kebenaran absolut. Dia berpendapat bahwa pikiran manusia akan menuntunnya ke dalam berbagai kesalahan. Hingga pada suatu saat, dia sadar kalau kekuatan yang ada di dalam pikirannya membuktikan bahwa hal-hal di sekelilingnya ada, termasuk keberadaan dirinya sendiri. Agnostik, ya? Terus berpikir, hal yang ada di dalam keraguan akan menemui muaranya -keberadaan mutlak berupa kebenaran. Pun, setelah menemu kebenaran juga hendaknya terus berpikir.
Dari hal yang diungkapkan oleh Descartes, dapat pula 'diplesetkan' menjadi Scribo ergo sum. Aku menulis, maka aku ada. Kalau Soe Hok Gie tidak gemar menuliskan hal-hal yang dialaminya, barangkali namanya tak banyak dikenal orang-orang 'baru', pun begitu juga masih banyak yang belum tahu. Lalu, sejarah mengenai G30S bahkan belum menemui titik terang hingga sekarang. Pada waktu itu, jurnalis disetir oleh penguasa. Kritik dalam bentuk apapun terhadap pemerintahan orde baru diharamkan, bahkan yang mengkritik dihilangkan. Imbasnya sekarang, sejarah menjadi kabur. Karena dari tulisan, kebenaran dan/atau keberadaan sejarah dapat pula diungkap.

Zine, Alterego...

Tak banyak yang tahu mengenai zine (dibaca 'zin'), terlebih angkatan-angkatan baru. Seperti halnya dengan Punk, pun pendefinisian zine kadang seolah kabur. Tiap orang memiliki perspektif pribadi dalam menilai zine atau bukan zine. "Nah yang menarik dari zine memang itu. Ah, rasanya ada pakem, tapi aku pikir semua bisa bebas-bebas saja. Tapi, kebebasan itu pun rasanya memiliki satu garis tebal tertentu dalam hal pengemasan. Jadi, pakem menciptakan zine itu bebas-bebas asik.", ungkap Annisa Rizkiana Rahmasari. Pada 17 - 28 Juli lalu, bertempat di Hysteria (Stonen 29, Sampangan, Semarang) telah diadakan sebuah workshop dan pameran zine yang digagas oleh Annisa Rizkiana Rahmasari dan beberapa temannya. Dalam workshop itu pula, beberapa zinemaker yang sempat menghiatuskan diri kembali menciptakan zine dengan topik bahasan yang belum mereka rencanakan sebelumnya. Mereka menciptakan zine secara sederhana dengan alat dan bahan semacam kertas, alat tulis, gunting, dan sebagainya. "Seperti berkenalan, ada yang masih malu-malu. Namun, ada juga perasaan ingin mengenal lebih. So far, banyak teman-teman yang memberi support dan menginspirasi, jadi saling mendukung satu sama lain.", jelas Nisa mengenai workshop zine.
Kalau bisa dibilang, zine adalah sebuah alterego. Seperti halnya seseorang yang menuangkan hal-hal yang ada di pikirannya ke dalam sebuah lagu ataupun gambar. Apa-apa yang terdapat dalam zine juga merupakan ungkapan yang dituangkan dalam media lain. Perkembangan jaman juga berpengaruh terhadap bentuk dan macam zine. Era informatika melalui media digital memberi inisiatif kepada zinemaker untuk menciptakan webzine dan/atau e-zine. Namun, banyak pula yang masih memegang akar rumput bahwa mesin fotokopi tak akan pernah mati. Menurut perempuan yang akrab disapa Nisa tersebut, zine bisa bilang sebagai rekam jejak dan proses berkenalan dengan hal-hal baru. Sehingga dengan pengelolaan rasa ini, kita akan lebih tahu diri kita, dan yang lebih luas lagi adalah kebudayaan kota. Ya, memang ada benarnya. Zine seperti buku sejarah. Dari zine pula, kita dapat tahu sejarah kita. Sejarah dalam arti luas.
Di Semarang sendiri, pergerakan zine memang tidak bisa dibilang masif. Beberapa muncul pada 2001, mereka tak tampak setelah beberapa edisi. Namun, orang-orang tersebut melebur dan menciptakan zine baru. Setelah 2006, zine di Semarang seolah mati. Tak banyak yang produktif. "Aku ingin Semarang bisa punya zine library dan zine festival.", harap Nisa. Pasti akan menarik sekali ketika banyak dari kita, teman-teman yang kamu kenal maupun yang belum kamu jumpai sebelumnya sibuk menumpuk rekam sejarah masing-masing secara personal maupun komunitas. "Dengan begitu, we can go backward and forward through the times. Dan regenerasi ini pasti sangat menyenangkan, ada semangat yang kita pelihara secara bersama-sama.", tutup Nisa.